Idealnya seorang guru di era milenial itu harus memiliki kompetensi yang bisa dibilang bagus, dan memiliki daya kreatif dan inovatif yang tinggi. Kreativitas seorang guru sangatlah dibutuhkan selama mengajar, banyak guru-guru yang memiliki rasa acuh tak acuh kepada muridnya, mereka hanya menggugurkan kewajibanya saja, “yang penting mengajar, masalah siswanya mengerti atau tidak ya terserah”, ada juga guru yang merasa jenuh, mereka kehilangan daya kreatif dan inovatifnya, tidak mau repot apalagi berfikir untuk membangun ide-idenya dalam mengajar.
Terlebih lagi, kondisi pandemi ini telah merubah kebiasaan-kebiasaan siswa dalam belajar, siswa harus belajar dari rumah menghadap smartphone atau komputernya. Dalam hal ini guru diharapkan memiliki daya kreatif dan inovatifnya agar siswa tetap belajar dengan baik.
Menjadi guru yang biasa-biasa saja, masuk kelas mengajar kemudian keluar kelas, dan begitu terus aktivitasnya. Hanya sekedar menggugurkan jam mengajar setiap harinya, biasanya guru yang seperti itu sulit untuk berkembang dan pelan-pelan menutup kreativitasnya. Hal ini berdampak pada siswa, siswa akan cepat merasa bosan dengan kegiatan pembelajaran di kelas. Dampak untuk guru itu sendiri adalah guru cenderung khawatir tidak ada feedback dari siswa, merasa bosan mengajar, lelah karena rutinitasnya itu-itu saja, dan bahkan sampai tidak bergairah masuk ke kelas.
Bila menengok kajian para peneliti dari Erasmus School of Economics Belanda (2013 & 2016) dalam bukunya Nurohmat, S.Pd., Gr., M.Pd. yang berjudul Asketisme Progresif, yang membahas persepsi tentang pendidikan dan persekolahan, bahwa puncak kreativitas dan inovasi seseorang rata-rata bearada pada usia 42 tahun. Menurutnya penelitian itu didasarkan setelah menganalisa para composer music klasik, penulis, dan pelukis ternama, diketahui jika rata-rata kreativitas mereka memuncak di usia 42 tahun.H
al ini berarti seseorang mengandalkan ide segar dan mencapai puncak kreativitas setelah menjelajahi 63% hidup. Tetapi kepercayaan guru yang begitu tinggi sering menjadikanya tidak mau untuk mencari referensi dan belajar untuk merefresh atau mengembangkan pengetahuan lawasnya, tidak mau menerima tantangan baru, dan merasa apa yang mereka ketahui tentang mengajar sudah cukup. Padahal dunia begitu cepatnya berubah.
Hal ini perlu adanya penekanan dari institusi sekolah untuk guru yang tidak mau belajar lagi, karena guru yang seperti itu berdampak kepada siswa yaitu guru malas mengajar, siswa malas belajar. Ada yang mengatakan bahwa sejatinya guru yang tidak mau belajar secara berkelanjutan, dia telah berhenti menjadi guru.
Di masa-masa pandemik ini, kreativitas guru sangat dibutuhkan, karena sistem belajarnya tidak lagi tatap muka, artinya seorang guru tidak memberikan tugas pembelajaran belajar dari rumah kepada siswa seperti halnya dalam situasi normal. Dalam situasi ini, guru dapat memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang ada, dan mampu menyusun pembelajaran jarak jauh dengan mempertimbangkan tentang apa yang hendak diajarkan, siapa yang diajar, dan sumber daya yang tersedia, serta memastikan jaringan internet yang baik. Teknologi yang memadai saja tidak cukup, komitmen, kreativitas, dan kepedulian gurulah yang akan memberikan kesan yang mendalam bagi siswa selama pembelajarn jarak jauh ini.