Segala sesuatu penyakit pasti ada obatnya, kecuali kematian. Karena kematian itu adalah sebuah kehendak dan ketetapan dari Allah. Apalagi virus yang sedang melanda di belahan bumi ini. Walaupun virus ini belum usai akan tetapi bakal ada penangkalnya. Salah satu obat pencegah dari virus tersebut adalah dengan disuntiknya caira vaksin ke dalam tubuh.
Beberapa hari kemarin, para ulama sempat berselisih pendapat mengenai kehalan vaksin, terutama jenis astrazeneca yang mana ada yang mengatakan cairan itu berasal dari cairan babi dan ada yang mengatakan tidak. Sebelumnya kita ketahui bagaiman hukum vaksin tersebut menurut ulama fiqih.
Fiqih klasik mengenal apa yang disebut dengan istihâlah, yaitu perubahan hukum suatu hal ke hal lain. Dalam kitab standar mazhab Hanafi, Radd Al-Mukhtâr ‘alâ Al-Durr Al-Mukhtâr, disebutkan contoh ekstrem dari aplikasi istihâlah. Menurut Ibn Abidin, jika babi tenggelam di laut dan setelah itu tubuhnya hancur, kemudian berubah menjadi garam maka garamnya halal. Selanjutnya mengenai najis yang menjadi debu, maka debu itu tidak menjadi najis, walaupun sebelumnya dari keledai.
Mazhab Hanafi menggunakan teori istihâlah ini secara mutlak, sedangkan mazhab Syafi‘i lebih berhati-hati. Menurut penjelasan kitab Syarh Al-Muhadzdzab oleh Imam Nawawi, jika perubahan zat itu melalui proses alami, tanpa melibatkan unsur manusia dan bahan kimiawi lain, teori istihâlah bisa diterapkan. Akan tetapi, kalau perubahan zat itu terjadi karena unsur rekayasa kimiawi dan teknologi pangan, teori istihâlah tidak berlaku dalam mazhab Syafi’i.
ulama mazhab Syafi’i dan sebagian ulama mazhab Hanafi menyatakan, berobat dengan benda najis hukumnya boleh, jika tidak ada benda suci yang dapat menggantikannya.
Imam An-Nawawi dari mazhab Syafi’i menyebutkan:
وَإِنَّمَا يَجُوْزُ التَّدَاوِي بِالنَّجَاسَةِ إِذَا لَمْ يَجِدْ طَاهِرًا يَقُوْمُ مَقَامَهَا، فَإِنْ وَجَدَهُ حُرِّمَتِ النَّجَاسَاتُ بِلَا خِلَافٍ، وَعَلَيْهِ يُحْمَلُ حَدِيْثُ: “إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَكُمْ فِيْمَا حُرِّمَ عَلَيْكُمْ،” فَهُوَ حَرَامٌ عِنْدَ وُجُوْدِ غَيْرِهِ، وَلَيْسَ حَرَامًا إِذَا لَمْ يَجِدْ غَيْرَهُ. قَالَ أَصْحَابُنَا: وَإِنَّمَا يَجُوْزُ إِذَا كَانَ الْمُتَدَاوِي عَارِفًا بِالطِّبِّ، يَعْرِفُ أَنَّهُ لَا يَقُوْمُ غَيْرَ هَذَا مَقَامَهُ، أَوْ أَخْبَرَ بِذَلِكَ طَبِيْبٌ مُسْلِمٌ
“Sesungguhnya berobat dengan menggunakan benda najis dibolehkan apabila belum menemukan benda suci yang dapat menggantikannya. Apabila telah didapatkan – obat dengan benda yang suci – maka haram hukumnya berobat dengan benda-benda najis, tanpa ada perbedaan pendapat tentang hal ini. Inilah maksud dari hadist“ Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesehatan kalian pada sesuatu yang diharamkan atas kalian.” Maka berobat dengan benda najis menjadi haram apabila ada obat alternatif yang tidak mengandung najis, dan tidak haram apabila belum menemukan selain benda najis tersebut. Sahabat-sahabat kami (Pengikut Madzhab Syafi’i) berpendapat: Dibolehkannya berobat dengan benda najis apabila orang yang berobat mengetahui ilmu perobatan. Ia mengetahui bahwa belum ada obat yang dapat menggantikanya atau berobat dengan benda najis itu direkomendasikan oleh dokter muslim yang adil “ ( Al Majmu’ juz 9, halaman 55 ).
جَازَ التَّدَاوِي بِالنَّجَاسَاتِ إِذَا لَمْ يَجِدْ طَاهِرًا مَقَامَهَا، لِأَنَّ مَصْلَحَةَ الْعَافِيَةِ وَالسَّلَامَةِ أَكْمَلُ مِنْ مَصْلَحَةِ اجْتِنَابِ النَّجَاسَةِ
“Boleh berobat dengan benda-benda najis jika belum menemukan benda suci yang dapat menggantikannya, karena mashlahat kesehatan dan keselamatan lebih diutamakan daripada mashlahat menjauhi benda najis” (Qawa’idul Ahkam fi Mashalihil Anam, juz 1, halaman 146).
Mengenai vaksin Astrazeneca ada yang mengatakan bahwa vaksin tersebut mengengandung enzim babi, sekarang sudah diputuskan mengenai penggunaanya. Setelah ada putusan bahsul masail LBM PBNU Vaksin AstraZeneca adalah mubah (boleh) digunakan bukan hanya karena tidak membahayakan melainkan juga karena suci. Dengan demikian, vaksin AstraZeneca boleh disuntikkan ke dalam tubuh manusia meskipun dalam kondisi normal, apalagi dalam kondisi darurat.
kalau ada kemungkinan unsur najis dalam media pembiakan, produknya tetap suci. Menurutnya, media pembiakan suci atau najis, vaksin tetap suci karena media tidak bertemu dengan vaksin (virus) tersebut. Hal ini dapat diumpamakan dengan pupuk kandang dan manisan yang tidak bertemu.
Vaksin AstraZeneca menggunakan bahan protein berupa enzim trypsin selec yang berasal dari jamur. Dapat disimpulkan, vaksin Astrazeneca berasal dari bahan-bahan yang halal dan suci, dapat digunakan untuk vaksinasi. Putusan bahsul masail LBM PBNU sangat mengimbau masyrakat untuk tidak perlu meragukan kemubahan vaksin Astrazeneca.