Childfree merupakan istilah yang merujuk pada seseorang yang tidak memiliki keinginan untuk memiliki anak. Maraknya istilah childfree belakangan ini sebenarnya bukan suatu hal yang baru lagi. Istilah berbahasa inggris ini telah muncul di akhir abad ke-20.
Ramainya childfree menjadi bahan perbincangan di platform media sosial terjadi setelah salah seorang tokoh publik Gita Savitri Devi mengungkapkan pilihan prinsip childfree dalam kehidupan rumah tangga bersama suaminya, Paul Andre Partohap. Keduanya resmi menikah pada 04 Agustus 2018 dan sepakat untuk tidak memiliki anak (childfree). Pilihan ini didasarkan pada sebuah anggapan bahwa memilki anak atau tidak merupakan sebuah pilihan. Ditambah dengan alasan pribadi, Gita Savitri Devi tidak memiliki keinginan menjadi seorang ibu dan tidak merasa mempunyai kewajiban harus punya anak untuk hidup bahagia. Penganut childfree lainnya juga mempunyai berbagai alasan tersendiri.
Menurut Corinne Maier dalam bukunya, ia menyebutkan berbagai alasan-alasan mengapa banyak childfree couple memutuskan untuk tidak memiliki anak.
Pertama, finansial. Masalah finansial berupa perekonomian yang kurang memadai, banyaknya tanggungan, dan pencapaian karir, menjadi salah satu faktor yang melatarbelakangi keputusan untuk tidak memiliki anak.
Kedua, kesehatan. Kelainan genetik yang dikhawatirkan menurun pada keturunannya, dan ketakutan pada perubahan fisik akibat paska kehamilan juga menjadi alasan seseorang tidak ingin memilki anak. Sebagian beranggapan bahwa keputusan memiliki anak merupakan keputusan besar yang tidak bisa diambil dengan pertimbangan dangkal. Dibanding melahirkan, bertanggung jawab atas pendidikan, pertumbuhan, perkembangan, dan kesehatan jasmani dan mentalitas anak merupakan hal-hal yang lebih penting dan harus di perhatikan oleh orang tua.
Ketiga, kepedulian akan dampak negatif pada lingkungan (over population). Indonesia saat ini menempati peringkat ke-empat sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar setelah China, India, dan Amerika Serikat. Meski di Indonesia pembatasan anak tidak diatur secara eksplisit dalam undang-undang, akan tetapi pemerintah mencanangkan program Keluarga Berencana (KB) dengan slogan dua anak lebih baik yang kini berubah menjadi dua anak lebih sehat yang diatur dalam UU No. 10 Tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera. Program Keluarga Berencana (KB) dimaksudkan untuk meminimalisir pembekakan populasi akibat fertilisasi tidak terkontrol dengan matang. Selain itu, dibanding melahirkan anak, beberapa pasangan suami istri lebih memilih mengadopsi anak di luar yang masih membutuhkan keberadaan orang tua angkat. Akan tetapi, fenomena childfree sulit diterima di Indonesia, lantaran masih bertahannya stigma-stigma sosial yang berkembang luas.
Stigma-stigma masyarakat yang berkembang luas, seperti yang dipaparkan oleh Donelson di antaranya, yaitu: pencapaian seorang wanita adalah ketika menjadi ibu, seorang wanita belum bisa dikatakan sebagai wanita seutuhnya bila tidak memiliki anak atau keturunan, dan perempuan yang sudah menikah harus memberikan keturunan pada suaminya. Selain itu, kondisi konstruksi sosial dan kuatnya budaya patriarki turut memengaruhi pandangan masyarakat Indonesia khusunya terhadap adanya childfree.
Di Indonesia belum pernah dilakukan survei yang dapat memberikan presentase banyaknya pasangan childfree. Akan tetapi seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa hal ini mengundang berbagai respon masyarakat, golongan yang menerima (pro) maupun golongan yang tidak bisa menerima (kontra). Sebuah pendapat kontra-childfree datang dari kalangan kaum muslim yang cenderung masih berpegang teguh pada ajaran klasik. Hal ini didasarkan pada Hadis Riwayat Abu Dawud:
عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي أَصَبْتُ امْرَأَةً ذَاتَ حَسَبٍ وَجَمَالٍ وَإِنَّهَا لَا تَلِدُ أَفَأَتَزَوَّجُهَا قَالَ لَا ثُمَّ أَتَاهُ الثَّانِيَةَ فَنَهَاهُ ثُمَّ أَتَاهُ الثَّالِثَةَ فَقَالَ تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ الْأُمَمَ
Terjemah:
Dari Ma’qil bin Yasar, ia berkata; seorang laki-laki datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi sallam lalu berkata; sesungguhnya aku mendapati seorang wanita yang mempunyai keturunan yang baik dan cantik, akan tetapi dia mandul, apakah aku boleh menikahinya? Beliau menjawab: “Tidak.” Kemudian dia datang lagi kedua kalinya dan beliau melarangnya, kemudian ia datang ketiga kalinya lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Nikahkanlah wanita-wanita yang penyayang dan subur (banyak keturunan), karena aku akan berbangga kepada umat yang lain dengan banyaknya kalian.” (HR. Abu Dawud).
Hadis tersebut menyimpan makna tersirat tentang pentingnya memiliki keturunan. Nabi menganjurkan menikahi wanita yang subur untuk agar mempunyai kesempatan untuk memiliki keturunan. Hal tersebut dijadikan dalil kaum muslim bahwa childfree bukan suatu pilihan yang dianjurkan menurut agama.
Dilihat dari sudut pandang yang berbeda, Prof. Bagong Suryanto, M. Si. menjelaskan bahwa kesuksesan seorang wanita kini sudah tidak lagi diukur dari ranah domestik, melainkan dapat diukur berdasarkan karir, prestasi, dan beberapa indikator lainnya. Keputusan childfree memungkinkan seseorang untuk memiliki lebih banyak waktu dan motivasi untuk memiliki lebih banyak waktu dan berkontribusi pada komunitas melalui upaya amal maupun sukarela. Hal ini kemudian menjadi sebuah fokus kajian, apakah childfree menyalahi konsep pernikahan menurut ajaran agama atau tidak.
Banyaknya orang yang lebih memilih hidup tanpa memilki anak mulai dikaji dalam beberapa perspektif. Realitas baru menyebutkan bahwa tidak semua pasangan ingin punya anak dalam kehidupan pernikahannya. Keputusan seseorang untuk tidak memiliki anak bukan sesuatu yang diambil secara tergesa-gesa tanpa adanya pertimbangan yang matang. Keputusan ini harus melalui diskusi antar pihak-pihak yang terlibat dan atas persetujuan bersama.
Pengambilan keputusan merupakan suatu hal yang berkaitan dengan hak pribadi seseorang. Secara umum dapat dikatakan bahwa manusia memiliki keinginan-keinginan mendasar untuk dapat menentukan keputusan secara bebas, sadar dan siap untuk bertanggungjawab. Berkaitan dengan hal tersebut, tetap diperlukannya hal-hal yang mendasari atau melatarbelakangi pengambilan keputusan sesuai dengan kehendak manusia sendiri.
Pada dasarnya, dalam QS. Al-Baqarah : 286 mengisyaratkan adanya perbedaan pada masing-masing individu dalam taraf kesanggupannya. Sebagaimana prinsip childfree yang ada, sebagian orang memilih untuk tidak memiliki anak karena beberapa faktor yang melatarbelakangi pilihannya. Hal ini berkaitan dengan ke-tidak sanggupan-nya secara finansial, kesehatan, psikologis, dan lain sebagainya. Maka dari itu, childfree merupakan hal yang sah-sah saja untuk dilakukan karena berkaitan langsung dengan taraf kesanggupan dalam diri setiap individu atas dasar kesepakatan bersama pasangan.
Realitas baru dalam sebuah keluarga memilki pemahaman bahwa pernikahan tidak melulu tentang lahirnya keturunan. Setiap pasangan diberikan kebebasan untuk memilih bagaimana cara dia akan menjalani kehidupan rumah tangga yang bahagia. Oleh karena itu, dalam menggapai tujuan pernikahan yang selalu dikaitkan dengan kehadiran anak-anak atau keturunan dianggap sebagai konsep yang kurang tepat karena banyak kebahagiaan bisadatang dari arah mana saja dan bagaimana caranya.
Referensi:
Agrillo, Christian dan Cristian Nelini. 2008. “Childfree by choice: a review”, Journal of Cultural Geography, Vol. 25, No. 3
Al Qurtubi, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al Ansari. 2009. al-Jamiu li Ahkam al- Quran, Juz XVI, Beirut: Ar-Resalah Publishers
Asnawi, Muhammad. 2004. Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, Yogyakarta: Darussalam
Blackstone, Amy. 2014. “Childlessor Childfree?”, ContAgrillo, Christian dan Cristian Nelini. 2008. “Childfree by choice: a review”, Journal of Cultural Geography Vol. 25, No. 3
Al Qurtubi, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al Ansari. 2009. al Jamiu li Ahkam al- Quran, Juz XVI, Beirut: Ar-Resalah Publishers
Asnawi, Muhammad. 2004. Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, Yogyakarta: Darussalam
Blackstone, Amy. 2014. “Childlessor Childfree?”, Contexts, Vol. 13, No. 4
Budiman, Arif, Tanpa Anak dan Bahagia, Mengapa Tidak?, https://voaindonesia.com/amp/tanpa-anak-dan-bahagia-mengapa-tidak-/5956367.html, diakses pada 25 Agustus 2021 pukul 10.27
Hapsari, Iriani Indri dan Siti Rianisa Septiani. 2015. “Kebermaknaan Hidup pada Wanita yang Belum Memiliki Anak Tanpa Disengaja (Involuntary Childless)”, Jurnal Penelitian dan Pengukuran Psikologi, Vol. 4, No. 2
Warsito. 2018. “Hadis Perintah Memperbanyak Keturunan Tinjauan Tekstual dan Kontekstual dalam Perspektif Ekonomi”, Riwayah: Jurnal Ilmu Hadis, Vol. 4, No. 1
Zubair, Achmad Charris. 1994. “Kebebasan Manusia Menurut Konsep Islam”, Jurnal Filsafat, Vol. 13, No. 4
Budiman, Arif, Tanpa Anak dan Bahagia, Mengapa Tidak?, https://voaindonesia.com/amp/tanpa-anak-dan-bahagia-mengapa-tidak-/5956367.html, diakses pada 25 Agustus 2021 pukul 10.27 WIB