Perubahan Sosial Masyarakat Akibat Pandemi Covid-19

Pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini, secara tidak langsung memberikan dampak yang sangat besar bagi tatanan kehidupan masyarakat. Dampak yang diakibatkan diantaranya mulai dari bidang ekonomi, bidang sosial, bidang pendidikan, bahkan juga mempengaruhi kondisi alam. Dalam waktu yang begitu cepat, pandemi Covid-19 ini telah mengubah keadaan dan cara hidup masyarakat di seluruh dunia. Pandemi Covid-19 berlangsung sejak awal tahun 2020 di Indonesia. Kasus pertama Covid-19 di Indonesia dinyatakan oleh Kementerian Kesehatan pada tanggal 1 Maret 2020 dengan 2 warga Depok yang positif terkena Covid-19. Hingga saat ini, penyebaran Covid-19 masih terjadi. Pemerintah tentunya tidak hanya diam melihat lonjakan kasus Covid-19 ini. Pemerintah terus mengupayakan langkah-langkah pencegahan penyebaran Covid-19. Beberapa upaya yang telah dilakukan pemerintah diantaranya adalah menerapkan aturan social distancing dan lockdown, kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), tes masal, larangan mudik, adaptasi kebiasaan baru (New Normal), Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), serta vaksinasi Covid-19.

Secara sosiologis, pandemi Covid-19 telah mengakibatkan perubahan sosial yang tidak direncanakan, yaitu suatu perubahan sosial yang terjadi secara sporadis dan tidak diinginkan kehadirannya oleh masyarakat (Prasetya, Nurdin, & Gunawan, 2021). Pandemi Covid-19 telah memberikan beberapa dampak yang memaksa masyarakat untuk terus adaptif atau menyesuaikan dengan segala bentuk perubahan sosial yang diakibatkannya. Bukan tidak mungkin bahwa peradaban dan tatanan kemanusiaan juga akan mengalami pergeseran ke arah dan bentuk yang jauh berbeda dari kondisi sebelumnya. Wajah dunia pasca pandemi Covid-19 bisa saja tidak akan pernah kembali pada situasi seperti sebelumnya. Segala bentuk aktivitas masyarakat yang telah di masa pandemi sekarang ini diharuskan sesuai dengan standar protokol kesehatan. Hal ini, tentu saja bukan persolan yang sederhana. Masa pandemi Covid-19 ini telah mengindeksi semua aspek tatanan kehidupan masyarakat yang sejauh ini telah diinternalisasi secara terlembaga melalui rutinitas yang sistematis dan berulang. Masyarakat tentunya akan dihadapkan pada situasi perubahan yang bahkan sebelumnya tidak pernah terbayangkan sama sekali.

Sejumlah tata nilai dan norma lama harus ditata ulang dan direproduksi agar menghasilkan sistem sosial yang baru. Munculnya tata aturan baru tersebut kemudian ditandai dengan adanya beberapa himbauan dari pemerintah diantaranya mulai dari belajar, bekerja, dan beribadah dilakukan di rumah. Jika sebelumnya kita dapat berinteraksi secara langsung atau tatap muka, saat ini kita hanya bisa melakukan interaksi secara virtual melalui layar monitor masing-masing. Begitu pula dengan pola kebiasaan masyarakat yang pada dasarnya senang berkumpul, silaturahmi, bersalaman, kini dituntuk untuk terbiasa melakukan pembatasan sosial. Dalam konteks ini, perilaku dan kebiasaan masyarakat secara konvensional di masa sebelum pandemi Covid-19 kemudian diatur dan ditransformasikan melalui pola interaksi secara virtual. Kondisi tersebut sekaligus mempertegas bahwa fungsi teknologi saat ini menjadi sangat penting sebagai perantara interaksi sosial masyarakat di masa pandemi Covid-19 saat ini. Selanjutnya, perubasan sosial di masa pandemi Covid-19 juga melahirkan kebiasaan-kebiasaan baru dalam berbagai aspek kehidupan diantaranya lebih teratur menjaga jarak fisik, selalu mencuci tangan dengan sabun dan menggunakan masker, menghindari transportasi umum, serta mengalami peningkatan aktivitas belanja online.

Adaptasi kebiasaan baru atau New Normal diartikan sebagai skenario untuk mempercepat penanganan Covid-19 dalam aspek kesehatan, sosial, dan ekonomi. Pokok pikiran Talcott Parsons dalam perkembangan pada tahun 1950 dalam bukunya “The Social System” yang diterbitkan tahun 1951 tentang konsep AGIL dapat menjelaskan adaptasi kebiasaan baru di masa pandemi Covid-19 ini. Konsep AGIL merupakan pengembangan teori fungsionalisme struktural dengan mengemukakan empat prasyarat mutlak yang harus dicukupi oleh setiap masyarakat. Empat skema AGIL Talcott Parsons diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Adaptasi (Adaptation), merupakan sebuah sistem yang harus menanggulangi situasi eksternal yang berbahaya. Sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan itu dengan kebutuhannya. Adaptation ini merupakan konsep agar masyarakat mampu bertahan, maka mereka harus mampu menyesuaikan diri. Dalam hal ini, adanya perubahan perilaku, masyarakat dituntut untuk menyesuaikan diri dengan menjaga jarak, menggunakan masker, rajin mencuci tangan, mengurangi mobilitas dan menjauhi kerumunan.
2. Pencapaian tujuan (Goal Attainment), merupakan sebuah sistem yang harus menjelaskan dan mencapai tujuan utamanya. Goal adalah sebuah sistem yang harus mampu menentukan suatu tujuan, serta tujuan tersebut harus dicapai sesuai dengan apa yang telah dirancang. Seluruh kebijakan yang telah dirancang oleh pemerintah memiliki tujuan utama yang jelas yaitu menekan laju penyebaran Covid-19. Apabila masyarakat mampu beradaptasi terhadap perubahan perilaku, maka tujuan tersebut akan tercapai.
3. Integrasi (Integration), merupakan sebuah sistem yang harus mengatur antar hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Sistem ini juga harus mengelola hubungan antar ketiga fungsi penting lainnya. Pada tahap ini, masyatakat dituntut untuk bekerjasama dengan komponen masyarakat lainnya seperti pemerintah dan swasta. Unsut integrasi itu penting, satu sama lainnya saling mempengaruhi jika sudah dibuat aturan oleh pemerintah, maka masyarakat harus mentaati. Tanpa adanya integrasi, maka tujuan akan gagal.
4. Latency atau pemeliharaan pola, merupakan sebuah sistem yang melengkapi, memelihara, memperbaiki, baik motivasi individu maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi. Pada tahan ini, setiap masyarakat harus mempertahankan nilai dasar serta norma yang telah dianut bersama. Setelah mencapai tujuan untuk menekan laju penyebaran Covid-19, maka kompinen masyarakat akan saling menjaga nilai dan norma baru yang telah terbentuk. Mempertahankan kedisiplinan ini diharapkan akan menjadi budaya baru di masyarakat.
Keterkaitan keempat skema AGIL dan poin-poin dalam kehidupan sosial merupakan bagian dari proses perubahan masyarakat, yang menyebutkan bahwa masyarakat merupakan sebuah sistem dalam mengendalikan sistem tindakan. Struktur masyarakat berpegang teguh pada sistem tindakan karena masyarakat berada pada masa transisi membuat masyarakat harus memegang keempat Skema dari teori Talcott Parsons, beradaptasi, mempunyai tujuan hidup, menjalin hubungan yang baik dan memotivasi diri.

Talcott Parsons mendesain skema AGIL ini untuk digunakan di semua tingkat dalam sistem teoritisnya. Dalam bahasan tentang empat sistem tindakan, Talcott Parsons menunjukkan cara penggunaan dari keempat skemanya:
1. Organisme perilaku, adalah sebuah sistem tindakan yang melaksanakan fungsi adaptasi dengan menyesuaikan diri dan mengubah lingkungan eksternalnya. Talcott Parsons ini menyatakan bahwa tindakan manusia selalu diarahkan pada tujuan. Artinya, tindakan itu terjadi pada kondisi yang memiliki unsur sudah pasti, sedangkan unsur yang lainnya digunakan sebagai alat mencapai tujuan tersebut. Pada masa pandemi Covid-19, masyarakat terdorong untuk bergerak menyesuaikan realitas keadaan sosial yang ada. Tindakan pemerintah untuk memberlakukan kebijakan-kebijakan sudah ditentukan. Kebijakan tersebut sebagai bagian dari orientasi nilai dan motivasi dalam rangka menyelamatkan masyarakat dari lonjakan penyebaran Covid-19.
2. Sistem kepribadian melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan menetapkan tujuan sistem dan memobilisasi sumber daya yang ada untuk mencapainya. Masyarakat di masa pandemi Covid-19 juga memiliki perbedaan kepribadian satu sama lain. Sebagai contoh, ada seorang mahasiswa ketika pembelajaran dialihkan ke daring, ia justru termotivasi untuk belajar lebih giat dan serius, kreatif, dan lebih antusias daripada ketika ia belajar di kelas seperti di kampus. Jika ditelaah lebih jauh, mahasiswa tersebut berada pada sistem kultural dan sistem sosial yang baik dan mendukung untuk bergerak. Berbeda dengan mahasiswa lainnya, dengan adanya pembelajaran daring, fokus belajar mereka tidak bisa lagi terkontrol dengan baik dan cenderung lebih memberikan dampak negatif daripada ketika belajar langsung tatap muka di kampus. Maka di masa pandemi ini, sistem kepribadian masing-masing individu harus terus dikendalikan oleh sistem kultur yang baik dan juga adanya sistem sosial yang saling menguatkan satu sama lain.
3. Sistem sosial menanggulangi fungsi integrasi dengan mengendalikan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Pandemi Covid-19 telah membuat sistem sosial baru di mana masyarakat harus berinteraksi lebih intensif dengan beberapa institusi masyarakat lain, salah satunya institusi keluarga dan lingkungan. Bagi Talcott Parsons, persyaratan kunci demi terpeliharanya integrasi pola nilai dari sistem sosial adalah adanya internalisasi dan sosialisasi. Integrasi dari beberapa institusi di masa pandemi Covid-19 ini harus diikuti dengan aturan-aturan yang mengikat masyarakat. Melalui integrasi yang baik, proses internalisasi ke diri masyarakat tentang budaya baru bagaimana seharusnya tatanan new normal dapat diimplementasikan sesuai harapan bersama. Berbagai institusi juga perlu berintegrasi untuk terus melakukan sosialisasi (dan konsolidasi) satu sama lain terkait perkembangan pandemi covid-19.
4. Sistem kultural melaksanakan fungsi pemeliharaan pola dengan menyediakan aktor seperangkat norma dan nilai yang memotivasi mereka untuk bertindak. Pandemi Covid-19 ini mendorong masyarakat untuk mengikuti norma yang berlaku, seperti sebelum masuk rumah harus cuci tangan pakai sabun terlebih dahulu, begitupun keluar rumah juga harus memakai penutup muka (masker). Misalnya norma sosial dalam sejarah kultur Jawa, setiap rumah di depannya diberi padasan (gentong yang berisi air). Siapapun yang ingin masuk rumah harus mencuci muka, tangan, dan kakinya terlebih dahulu. Masyarakat Jawa masih meyakini bahwa jika ada tamu datang dari luar tidak mencuci badannya dulu , maka penyakit sawanen (gejala demam tinggi) akan mudah masuk di rumah tersebut yang biasanya dapat menyebabkan anak kecil di dalam rumah tersebut sering rewel dan tidak berhenti menangis. Maka dengan itu, sistem kultural akan bekerja melaksanakan fungsi pemeliharaan pola dengan menyediakan aktor seperangkat norma dan nilai, sehingga dengan begitu akan memotivasi aktor tersebut untuk melakukan dan mentaati apa yang telah dijadikan norma itu.

Sebagai makhluk sosial, manusia dalam kondisi pandemi Covid-19 saat ini haruslah hidup saling menghormati, tolong menolong, dan toleransi antar sesama. Hal yang dapat kita lakukan saat ini adalah adaptif dengan perubahan sosial yang diakibatkan pandemi Covid-19. Kita harus mampu hidup berdampingan dengan Covid-19 dan mencoba bersahabat dengan keadaan, tentunya dengan disiplin menerapkan protokol kesehatan.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *