Hari Santri merupakan peringatan sejarah peristiwa untuk mengenang dan meneladani perjuangan kaum santri dalam menegakkan kemerdeekaan Indonesia yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober. Membahas hari santri tidak akan lepas dengan sejarah Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama pada masa lampau. Kakek dari Presiden KH. Abdurrahman Wahid atau sering disapa Gusdur, KH. Hasyim Asy’ri merupakan pelopor Resolusi Jihad NU.
Ketika Belanda mengirim Brigade 49 Divisi India Tentara Inggris yang dipimpin oleh Brigadir Jendral A.W.S. Mallaby untuk recana Agresi Militer II, beliau melihat kemungkinan bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia masih belum selesai walaupun proklamasi telah digaungkan pada 17 Agustus 1945.
Berkat siasat KH. Hasyim Asy’ari, sebelumnya NU sudah memiliki milisi yang bernama Laskar Hizbullah yang turut mengobarkan semangat Resolusi Jihad dan sempat dilatih secara militer oleh Jepang. Dalam NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Baru (1994), Martin van Bruinessen mencatat, pada tanggal 21 dan 22 Oktober 1945, seluruh wakil cabang NU Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya untuk menyatakan perjuangan kemerdekaan sebagai sebuah jihad melawan penjajah.
KH. Hasyim Asy’ari mengumpulkan pembesar-pembesar pada dua hari tersebut, salah satunya ialah Kiai Wahab Hasbullah dan dihadiri oleh panglima Hizbullah dan Zainul Arifin dalam sebuah forum untuk menyepakati mengeluarkan Resolusi Jihad. Secara umum terdapat dua kategori dalam berjihad yaitu berbunyi:
“Berperang menolak dan melawan penjajah itu fardu ‘ain bagi yang berada dalam jarak lingkaran 94 km dari tempat masuk dan kedudukan musuh. Bagi yang berada di luar jarak lingkaran tadi, kewajiban itu jadi fardu kifayah.”
Maksud dari kata fardu ‘ain dalam fatwa diatas adalah kewajibah yang harus dikerjakan setiap orang islam, laki-laki, perempuan, anak-anak, dengan bersenjata maupun tidak. Sedangkan kata fardu kifayah adalah cukup dilakukan oleh sebagian orang saja.
Dikutip dari Tirto.id yang dilansir dari NU Online , fatwa tersebut dikenal dikenal dengan nama Resolusi Jihad NU 22 Oktober yang dijadikan dasaran penetapan Hari Santri Nasional. Resolusi Jihad menjadi pendorong keterlibatan kaum santri, jamaah NU, dan Laskar Hizbullah dalam perjuangan melawan penjajah pada 10 November 1945 di Surabaya.
Pada saat itu para santri diajarkan nilai-nilai nasionalisme untuk berkhidmat kepada bangsa dan negara selain kewajibannya belajar dan menuntut ilmu, oleh karena itu pesantren menjadi sebuah wadah untuk melatih kesadaran untuk membangun persatuan dan kesatuan kemerdekaan bangsa Indonesia. Spirit perlawanan lahir dengan adanya hal tersebut, semangat kaum sarung “santri” terjun turut angkat senjata melawan penjajah.
Singkatnya, berkat semangat perlawanan yang dikobarkan melalui Resolusi Jihad NU, Rais ‘Am PBNU KH. Said Aqil Siradj memberikan usulan peringatan Hari Santri diperingati pada 22 Oktober. Kemudian pada 15 Oktober 2015, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Keppres No.22 Th 2015 yang menetapkan Hari Santri Nasional jatuh pada 22 Oktober, berbeda dengan sebelumnya yang telah direncanakan oleh presiden yakni tanggal 1 Muharram.
Dengan adanya peringatan Hari Santri mengingatkan kita semangat perjuangan kaum santri dalam memperjuangkan kembali kemerdekaan disamping kewajibannya menjadi seorang pelajar yakni menuntut ilmu. Perjungannya patut diteruskan walaupun pada kondisi yang berbeda, turut menjaga kemerdekaan, keberagamaan, dan generasi penerus menjadi PR penting diri kita.
Santri adalah generasi bangsa