Sebagai dusun yang memiliki banyak keanekaragaman sosial, Dusun Jambe memiliki potensi konflik yang bersumber dari keberagaman identitas tersebut. Sumber konflik yang rentan muncul saat ini yaitu perbedaan agama. Agama merupakan suatu kepercayaan untuk beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa yang kemudian mentaati kaidah-kaidah yang didalamnya berkaitan dengan budaya, yang kemudian mampu menghubungkan manusia dengan tatanan kehidupannya. Dan dalam urusan memilih agama itu menjadi hak secara individu, orang lain atau lembaga lain tidak berhak melarang dalam memilih agama. Oleh karena itu, muncullah keberagaman dimana menjadi daya tarik tersendiri di dusun tersebut.
Namun dengan demikian tidak menghalangi masyarakat untuk tetap berinteraksi satu sama lain. Hal ini dikarenakan sikap toleransi masyarakan Dusun Jambe yang sangat tinggi. Toleransi berasal dari bahasa Latin “tolerare” yang memiliki arti sabar terhadap sesuatu. Maka toleransi merupakan suatu sikap, perilaku atau tindakan manusia yang mengikuti aturan, dimana seseorang dapat menghargai, menghormati satu sama lain. Akan tetapi istilah toleransi dalam konteks sosial budaya dan agama mempunyai arti sikap dan perbuatan yang melarang adanya deskriminasi terhadap kelompok atau golongan yang berbeda dalam suatu masyarakat contohnya saja toleransi salam beragama.[1] Yang mana di Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam, akan tetapi masyarakatnya bisa saling menghargai satu sama lain untuk keberlangsungan hidup. Hal ini tidak jauh beda dengan Dusun Jambe Desa Candigaron Kabupaten Sumowono. Di desa tersebut memiliki keberagaman agama dan keberagaman kebudayaan dari adat kejawen hingga modern. Akan tetapi penulis hanya memfokuskan dari segi keagamaannya saja.
Dalam suatu desa dimana manusia hidup bermasyarakat dan berinteraksi satu sama lain, setiap detik setiap menit bahkan setiap hari karena kita sebagai makhluk sosial. Untuk itu sangat dipastikan bahwa setiap orang memiliki identitasnya masing-masing salah satu indentitasnya yaitu kepercayaan. Di Dusun Jambe Desa Candigaron memiliki beberapa kepercayaan, yaitu Islam, Hindu, Budha, Khonghucu, Kristen, Katolik sekalipun Animisme dan Dinamisme. Dengan berbagai macam keagamaan tidak menjadi hambatan bagi masyarakat sekitar untuk berinteraksi. Terbelih masyarakat sekitar menghormati satu sama lain dengan warga yang berbeda agama. Karena masyoritas penduduk di dusun tersebut beragama Islam tidak memungkiri untuk warga yang non Islam untuk ikut andil dalam kegiatan bermasyarakat. Salah satu contoh kecilnya yaitu bergotong royong membersihkan lingkungan sekitar, masyarakat yang non Islam turut andil dalam kegiatan tersebut meskipun mayoritas masyarakatnya beragama Islam. Selain itu, masyarakat juga tidak membeda-bedakan meskipun tidak dalam satu kepercayaan. Hal ini terjadi karena implementasi dari nilai-nilai toleransi yang dimiliki masyarakat tersebut tinggi sehingga mampu meminimalisir adanya konflik yang ada.
Hal yang membuat semakin kuat bahwa sikap toleransi masyarakat sekitar yang tinggi ditunjukan dengan adanya suatu acara kebudayaan yang tidak pernah ditinggalkan, kebudayaan tersebut yaitu bernama “kadeso”. Kadeso atau sedekah deso merupakan suatu adat kebudayaan dari leluhur terdahulu hingga turun temurun, acara tersebut bertujuan sebagai simbol ucapan berterima kasih, syukur atas apa yang Tuhan Maha Esa diberikan pada masyarakat sekitar selama hidup. Acara tersebut dilaksanakan satu tahun sekali yaitu dibulan Ruwah dalam kalender jawa, dan di tahun ini bertepatan pada tanggal 5 November 2021. Acara tersebut diawali dengan memasak-masak untuk perempuan, sedangkan laki-laki mempersiapkan tenda dan gunungan yang berisi sayuran dan buah-buahan untuk arak-arakan dikemudian hari. Dari sisi ini dapat dilihat adanya kerukunan warga yang saling membantu sama lain tanpa memandang jenis kelamin, suku, agama. Kemudian di pagi harinya semua warga berkumpul untuk meramaikan acara tersebut. Acara yang pertama yaitu arak-arakan mengelilingi dusun dengan memanggul gunungan hasil buminya, kemudia sambutan-sambutan dari kepala dusun maupun desa. Uniknya lagi, bukan hanya kepala dusun maupun desa saja namun juga perwakilan dari berbagai agama yang ada di dusun tersebut. Setelah selesai sambutan maka diadakan slametan dimana setiap rumah harus membawa makanan dari rumahnya sendiri-sendiri untuk kemudian ditukar-tukarkan dengan warga yang lain yang kemudian memakannya secara bersamaan. Kemudian acara yang selanjutnya yaitu rebutan gunungan yang sudah diarak mengelilingi dusun tersebut. Ada masyarakat yang mempercayai bahwa jika mendapatkan buah maupun sayuran yang ada di gunungan tersebut mendapatkan barokah dari Tuhan Yang Maha Esa.
Acara kasedo tersebut tidak berhenti disitu saja melainkan ada acara selanjutnya seperti kuda lumping, dan juga wayangan. Wayangan ini dimulai dari pukul 14.00 WIB hingga kemudian hari pukul 05.00 WIB. Warga sekitar sagat antusias dalam acara tersebut baik anak-anak, remaja, dewasa, tua hingga lansia, karena acara tersebut sangat sakral bagi masyarakat Dusun Jambe Desa Candigaron Kabupaten Sumowono.
[1] Abu Bakar: Konsep toleransi dan kebebasan beragama. Vol. 7 No. 2. 2015 hlm. 123