Kehidupan manusia di Bumi tidak lepas dan selalu berkaitan dengan lingkungan. Manusia bukanlah makhluk yang dapat hidup sendirian di muka bumi ini. Manusia hidup berdampingan, bahkan berkelompok-kelompok dan sering mengadakan hubungan antar sesamanya.
Tidak hanya lingkungan, ada beberapa makhluk lain yang menamani kehidupan manusia. Jadi, memang seharusnya manusia harus sadar akan pentingnya mnjaga eksosistem di Bumi ini.
Lingkugan sendiri merupkan satu kesauan unsur, dari mulai semua bnda, daya, kadaan dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi alam, dan kelangsungan kehidupan.: (Sihadi Darma: 2021) [1]
Lingkungan hidup adalah seluruh faktor luar yang memengaruhi suatu organisme. Faktor-faktor ini dapat berupa organisme hidup (biotic factor) atau variabel-variabel yang tidak hidup (abiotic factor), dilansir dari buku Ilmu Lingkungan, Sarana Menuju Masyarakat Berkelanjutan oleh Agoes Soegianto.
Etika lingkungan menjadi faktor internal bagi manusia untuk menghindari langkah langkah merusak terhadap lingkungan. Hal ini juga dapat ditingkatkan melalui ajaran agama.
Mengingat ajaran agama sangat menentukan dalam erilaku individu dan sosial, maka dapat dikatakan jika solusi bagi krisis lingkungan harus dicermati di ajaran agama. Salah satu agama yang memberi tuntutan mekanisme menyikapi dan berperilaku terhadap lingkungan adalah Agama Islam. Townsend White, pakar Sejarah Abad Pertengahan, Universitas Princeton dan Universitas Stanford tahun 1967 menulis makalah di Majalah Science terkait hubungan lingkungan dan agama.
Di artikelnya, Townsend White menyimpulkan bahwa agama Kristen dan Yahudi membuka peluang bagi perusakan lebih besar lingkungan hidup. Pasalnya, kedua agama ini di risalahnya mengajarkan bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu bagi manusia dan hak manusia memanfaatkan alam tidak terbatas. [2](Hall, 1989)
Dari hal inilah kemudian terdapat dua komponen utama lingkungan, yaitu: Biotik: Makhluk (organisme) hidup; dan Abiotik: Energi, bahan kimia, dan lain-lain.
Pada hakikatnya keseimbangan alam (balance of nature) menyatakan bahwa bukan berarti ekosistem tidak berubah. Ekosistem itu sangat dinamis dan tidak statis. Komunitas tumbuhan dan hewan yang terdapat dalam beberapa ekosistem secara gradual selalu berubah karena adanya perubahan komponen lingkungan fisiknya.
Tumbuhan dan hewan dalam ekosistem juga berubah karena adanya kebakaran, banjir, erosi, gempa bumi, pencemaran, dan perubahan iklim. Walaupun ekosistem selalu berubah, ia mempunyai kemampuan untuk kembali pada keadaan semula selama perubahan itu tidak drastis.
Pengertian lingkungan hidup pertama kali dirumuskan dalam UU No. 4 Tahun 1982 (disingkat UULH-1982) tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang kemudian dirumuskan kembali dalam UU No. 23 Tahun 1997 (disingkat UUPLH-1997) tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan terakhir dalam UU No. 32 Tahun 2009 (disingkat UUPPLH-2009) tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Perbedaan mendasar pengertian lingkungan hidup menurut UUPLH-2009 dengan kedua undang-undang sebelumnya yaitu tidak hanya untuk menjaga kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain, tetapi juga kelangsungan alam itu sendiri. Jadi sifatnya tidak lagi antroposentris atau biosentris, melainkan telah mengarah pada ekosentris.
Berdasarkan pengertian dalam ketiga undang-undang tersebut, jelas bahwa lingkungan hidup terdiri atas dua unsur atau komponen, yaitu unsur atau komponen makhluk hidup (biotic) dan unsur atau komponen makhluk tak hidup (abiotic).
Di antara unsur-unsur tersebut terjalin suatu hubungan timbal balik, saling memengaruhi dan ada ketergantungan satu sama lain.
[1] Sihadi Darma dan Henita Rahmayanti, 2021, Pendidikan Lingkungan HIdup, (Pekalongan : Penebi NEM), Hlm 1
[2] Hall, B. S. (1989) ‘Lynn Townsend White, Jr. (1907-1987)’, Technology and Culture, 30(1), pp. 194–213.