UIN Walisongo Goes to Jerman, Mahasiswa KKN Sharing Sistem Pembelajaran Daring dengan Jerman

Kiprah mahasiswa KKN UIN Walisongo tidak pernah berhenti, bahkan ketika mendekati saat penarikan kembali oleh kampus. Kali ini KKN kelompok 129 menghentak dengan menggelar acara talkshow internasional lintas benua, yaitu Asia dan Eropa, dengan mengusung tema “Challenges on Learning during Covid-19 Pandemic (Germany-Indonesia Perspective)”. Acara ini diselenggarakan pada Minggu, 7 Nopember 2021.

Hadir dalam kegiatan itu adalah Kepala Pusat Pengabdian kepada Masyarakat (Kapus PPM) UIN Walisongo, Dr. Muhammad Rikza Chamami, M.S.I. Dalam sambutannya, Kapus PPM menyampaikan bahwa sebagai insan intelektual PTKIN tidak cukup menguasai bahasa Arab saja, akan tetapi juga harus menguasai bahasa lainnya, terutama Inggris. Dengan penguasaan bahasa tersebut, maka usaha-usaha untuk memahami budaya lain dan menjalin kerjasama akan lebih mudah dilakukan, sebagaimana acara yang diselenggarakan oleh peserta KKN kelompok 129 ini. Dosen Pembimbing Lapangan (DPL), Mahdaniyal H.N., M.S.I. mengapresiasi keberanian kelompok ini menggandeng organisasi dari luar negeri, yaitu PCI NU Jerman untuk membincangkan sistem perkuliahan di negara tersebut selama masa pandemi.

Narasumber yang dihadirkan adalah mahasiswa S2 di RWTH Anchen Jerman, Muhammad Arrayyaan Makiatu, B.Sc.  dan psikolog klinis dewasa Indonesia, Nadya Ariyani H.N., S.Psi., M.Psi., Psikolog. Dalam kesempatan itu, Rayyan menyampaikan bahwa perkuliahan di Jerman sama dengan di Indonesia yang belum memperbolehkan tatap muka di ruang kelas. Perkuliahan masih dilakukan secara online, namun dengan persyaratan yang tidak begitu ketat. Mahasiswa tidak diwajibkan untuk hadir secara virtual, tidak diwajibkan juga untuk open camera, bahkan presensi pun bukan menjadi suatu hal penting dalam penilaian. Kampus hanya menekankan bahwa mahasiswa harus lulus untuk tiap mata kuliah. Apabila ada satu mata kuliah yang tidak lulus selama tiga kali pengulangan, maka universitas se-Jerman tidak akan menerimanya untuk masuk di fakultas yang mengajarkan mata kuliah yang diulang tersebut. Hal yang demikian secara tidak langsung menuntut para mahasiswa harus memiliki tanggung jawab sendiri untuk memahami materi kuliahnya.

Narasumber yang kedua, Nadya, menyoroti tentang psikis “mahasiswa pandemi”. Menurutnya, mahasiswa yang kuliah di masa ini memiliki tantangan yang sangat berat. Hal ini dikarenakan mereka harus berusaha memahami materi sebaik mungkin tanpa bertemu secara langsung dengan dosen, mengerjakan tugas-tugas perkuliahan yang menumpuk, apalagi ditambah dengan kondisi jauh dari keluarga, sebagaimana teman-teman di Jerman. Tantangan ini harus diatasi. Dalam teori psikologi dikenal adanya teori “DANCE”. Dance yang berarti menari, mengajarkan kepada siapapun untuk bisa menari di tengah hujan. Artinya, dalam hambatan apapun, seseorang harus tetap bisa melewatinya dengan baik. Dance merupakan sebuah akronim, yaitu: D adalah “don’t argue”, artinya jangan mengeluh pada semua hambatan dan tantangan yang ada termasuk pandemi ini karena tidak ada seorangpun yang bisa melawannya; A adalah “accept” yang berarti bahwa seseorang harus mau menerima rintangan yang menghadang; N adalah “nurture your health”, artinya adalah orang tersebut harus tetap menjaga kesehatannya; C adalah “create novel solution”, artinya adalah usahakan untuk mencari solusinya; dan E adalah “enjoy” yang artinya harus berusaha untuk menikmati hambatan tersebut. Nadya menganalogkan seseorang yang sedang mengalami hambatan layaknya bola yang dilemparkan ke lantai. Bola tersebut justru semakin tinggi. Begitu juga dengan manusia ketika menemui hambatan dia harus mampu “melenting” lebih tinggi, yang caranya adalah dengan menerapkan konsep DANCE tersebut. (Kel129/Puj)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *