Kesetaraan gender bukan perkara persaingan antara kaum perempuan dengan kaum laki-laki, melainkan upaya untuk memperjuangkan hak kemanusiaan. Perjuangan R.A Kartini seyogyanya mengingatkan kaum perempuan untuk terus memperjuangkan hak-haknya.
Gender sendiri menurut World Health Organization (WHO) adalah sifat perempuan dan laki-laki seperti norma, peran, hubungan antara kelompok laki-laki dan perempuan, yang dikonstruksi secara sosial. Sehingga dapat dipahami bahwa kata gender diartikan sebagai peran yang dibentuk oleh masyarakat serta perilaku yang tertanam lewat proses sosialisasi yang berhubungan dengan jenis kelamin perempuan dan laki-laki.
Secara biologis antara perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan akan tetapi, kebudayaan menafsirkan perbedaan biologis ini menjadi seperangkat tuntutan sosial tentang kepantasan dalam berperilaku dan pada gilirannya hak-hak, sumber daya, dan kuasa. Kendati tuntutan ini bervariasi di setiap masyarakat, tetapi terdapat beberapa kemiripan yang mencolok. Misalnya, hampir seluruh kelompok masyarakat menyerahkan tanggung jawab perawatan anak pada perempuan, sedangkan tugas kemiliteran diberikan pada laki-laki.
Tidak semua masyarakat mengalami diskriminasi berdasarkan ras atau etnis, namun semua masyarakat mengalami diskriminasi berdasarkan gender baik dalam bentuk kesenjangan maupun perbedaan dalam tingkatan yang berbeda-beda. Diskriminasi berdasarkan gender masih terjadi pada seluruh aspek kehidupan, di seluruh dunia. Ini adalah fakta meskipun ada kemajuan yang cukup pesat dalam kesetaraan gender dewasa ini. Sifat dan tingkat diskriminasi sangat bervariasi di berbagai negara atau wilayah. Tidak ada satu wilayah pun di negara dunia dimana perempuan telah menikmati kesetaraan dalam hak-hak hukum, sosial dan ekonomi. Kesenjangan gender dalam kesempatan dan kendali atas sumber daya, ekonomi, kekuasaan, dan partisipasi politik terjadi di mana-mana. Perempuan dan anak perempuan menanggung beban paling berat akibat ketidaksetaraan yang terjadi, namun pada dasarnya ketidaksetaraan itu merugikan semua orang.
Relasi gender antara perempuan dengan laki-laki dikatakan sudah baik atau setara apabila tidak ada lagi ketidakadilan gender yang terjadi, yakni (1) subordinasi: melihat posisi yang lain lebih rendah. (2) Marjinalisasi: peminggiran peran ekonomi perempuan dengan asumsi bahwa perempuan adalah pencari nafkah tambahan serta peminggiran peran politik perempuan dengan asumsi bahwa perempuan tidak bisa menjadi pemimpin yang mengakibatkan pemiskinan terhadap kaum perempuan. (3) Beban ganda: masuknya perempuan di sektor publik tidak senantiasa diiringi dengan berkurangnya beban mereka di dalam rumah tangga. (4) Kekerasan: baik fisik maupun verbal. (5) Pelabelan (stereotype): pemberian label sehingga menimbulkan anggapan yang salah.
Perempuan mempunyai hak untuk berkedudukan setara dengan laki-laki. Dan penting bagi perempuan untuk mengetahui sejauh mana mereka dapat disetarakan dengan laki-laki. Karena untuk hal tertentu perempuan tidak mampu menduduki posisi laki-laki dalam menjaga kehormatan dan melindungi perempuan itu sendiri. Selain itu, memberikan hak yang sama dengan laki-laki, dengan tetap melindunginya akan menjadikan perempuan merasakan keadilannya sudah terpenuhi secara utuh. Maka keseimbangan kehidupan pun akan terwujud. Kesetaraan gender tidak harus dipandang sebagai hak dan kewajiban yang sama persis tanpa pertimbangan selanjutnya. Kesetaraan gender juga tidak diartikan segala sesuatunya harus mutlak sama dengan laki-laki. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara melakukan perubahan keputusan bagi dirinya sendiri tanpa harus di bebani konsep gender.
Dapat disimpulkan bahwa esensi dari kesetaraan gender adalah memastikan kaum perempuan dan laki-laki memiliki aksesibilitas terhadap sumber daya, serta dapat berpartisipasi dan terlibat dalam proses pembangunan sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya.
(IRMALA)